Berangkat dari keterbatasan, Iwan lantas menjalani masa remajanya di Kota Buaya.
Saat tinggal bersama sang kakek adalah masa-masa pencarian jati diri Iwan.
Seperti anak muda pada umumnya, Iwan sempat labil. Ia sempat terlena menikmati kebebasannya.
Ini membuatnya terlupa akan didikan dan disiplin orang tua dan keluarga, sehingg ia banyak bermain dan melupakan belajarnya.
Akibatnya, nilai sekolahnya menurun drastis, dan ia tidak naik kelas.
Sebuah peristiwa kecelakaan hebat yang terjadi di bulan Juni 1983, ketika ia dan 3 temanya liburan sekolah ke Bali, membuatnya mengalami koma selama 5 hari di RS Sanglah, Bali.
Luka parah, namun Iwan akhirnya selamat.
“Mengapa saya enggak mati?” kata Iwan saat itu.
“Jika saya masih diberi hidup, maka pasti ada rencana-Nya yang luar biasa dalam hidup saya.”

Transformasi yang panjang seorang anak manusia dalam mencari jati dirinya hingga dia mampu mengekspresikan diri, menggapai prestasi, dan bergerak tanpa batasan yang dulu mengungkungnya, dimulai dari sini.
Lebih banyak bersyukur dan berusaha sungguh-sungguh menghasilkan sesuatu yang lebih baik.
Fighting to great something. Ini membentuk sikap hidup Iwan selanjutnya dan mengubah paradigmanya.
Misalnya, ketika melihat gelas terisi air sepertiga bagian.
Dulu, Iwan bilang “baru” terisi sepertiga. namun kini, Iwan bilang “sudah” terisi sepertiga, tinggal dua pertiga lagi untuk memenuhinya.
Itu yang membuatnya senantiasa bersyukur dan berusaha.
Punya bakat menggambar disadari Iwan sejak kecil. Rumah, menjadi bagian hidup Iwan.
Bangunan adalah sesuatu yang luar biasa baginya. “Ada jiwa saya di sana,” katanya.
Selepas SMA, Iwan berhasil masuk jurusan Arsitektur di University of New South Wales (UNSW), perguruan tinggi prestisius yang berdiri pada1949 dan masuk ranking 100 universitas terbaik di dunia menurut QS World University Rankings dan Times Higher Education.
Tidak mudah bisa diterima di UNSW yang terletak di wilayah Kensington, yang biasa disebut Kenso, 6 km dari pusat bisnis Sydney.



